MENULIS 500 KATA PER HARI

Image
MEMBIASAKAN DIRI MENULIS 500 KATA PER HARI Oleh : Peri Irawan* Bagaimana caranya membiasakan diri menulis 500 kata per hari? Menurut pribadi saya untuk melakukan itu, ya cukup hanya menyediakan waktu luang dan kemudian menulis langsung menulis saja. Menulis berbagai banyak hal, kata demi kata namun tetap berprinsip runut, enak dibaca sesuai kaidah penulisan dan tata bahasa yang benar. Menulis tentang pembahasan apapun tanpa batasan, tidak perlu mempermasalahkan teknis sedari awal, karena tujuan awal kita adalah mampu menulis 500 kata per hari. Saya pun demikian saat ini mulai membiasakan diri menulis 500 kata per hari, dan ternyata semua itu membutuhkan disiplin diri dan komitmen yang kuat. Dalam prosesnya perlu semangat, ide yang mengalir dan stamina yang cukup kuat. Berbagai gagasan yang akan dituangkan dalam tulisan dan perlu dikembangkan dalam bentuk kata demi kata agar menjadi sebuah kalimat yang tersusun rapi, sehingga menjadi rangkaian sebuah tulisan. Hal

BENANG KUSUT per-BURUH-an INDONESIA



BENANG KUSUT per-BURUH-an INDONESIA
Oleh : Peri Irawan*

Mencermati aksi unjuk rasa buruh akhir-akhir ini, baik melalui media massa cetak dan elektronik ataupun media interaktif (internet). Tergugah rasanya saat menyaksikan teman-teman buruh yang sedang berjuang untuk menyuarakan aspirasinya. Aksi unjuk rasa besar-besaran baik dilakukan di Ibu Kota DKI Jakarta maupun di masing-masing daerah kantong basis massa buruh, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, Purwakarta, Surabaya, Sidoarjo dan kota-kota lainnya. Dari aksi tersebut terkadang sangat disayangkan harus ada benturan dengan aparat keamanan di lapangan. Entah karena provokasi atau memang ada beberapa oknum buruh yang ingin aksi yang awalnya berjalan damai menjadi ricuh dengan tujuan mendapatkan perhatian dan prioritas bagi pemangku kekuasaan dan pemilik modal (pemerintah atau para pengusaha). Sebenarnya mengapa dalam kurun waktu 14 tahun ini (sejak tahun 1998) aksi unjuk rasa buruh kian meningkat? Apa yang melatarbelakanginya? Apa yang sedang diperjuangkan kaum buruh melalui organisasi Serikat Pekerja/Buruh-nya? Mengapa mengumpulkan massa sebesar-besarnya dan turun ke jalan, menjadi cara terefektif bagi kaum buruh untuk menyuarakan aspirasinya?

Dari pertanyaan-pertanyaan inilah penulis berusaha mencoba merangkum permasalahan buruh ini melalui artikel yang diberi judul “BENANG KUSUT per-BURUH-an INDONESIA”. Bahan artikel ini penulis dapatkan dari hasil diskusi dan obrolan ringan dengan beberapa teman yang aktif di kepengurusan perburuhan di wilayah Kota Tangerang diantaranya ;

Serikat Pekerja Nasional (SPN), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (GASPERMINDO), Kongres Aliansi Seluruh Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Buruh Seluruh Indonesia 1992 (SBSI92), Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (FSPTSK) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Dari kedekatan dengan beberapa pengurus serikat buruh/pekerja di atas tadi, penulis bisa mengambil beberapa  simpul benang kusut (permasalahan) perburuhan di Indonesia.



SBSI 1992



Serikat Pekerja Nasional (SPN)



FSPMI



KASBI

Beberapa simpul benang kusut atas perburuhan di Indonesia tersebut antara lain :

Pertama, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memihak kepada kaum buruh. UU tersebut cenderung lebih condong memihak kepada kepentingan pengusaha dan para investor. Beberapa pasal memberikan celah hukum kepada pengusaha untuk mendominasi kaum buruh. Bahkan beberapa serikat pekerja/buruh sepakat bahwa UU Ketenagakerjaan saat ini merupakan bentuk produk hukum yang mencerminkan kekalahan kedaulatan negara (state sovereignity) terhadap otoritas pemilik modal (pengusaha). Dalam hal ini negara menyerahkan begitu saja nasib buruh sepenuhnya kepada mereka para pemilik modal.

Kedua, dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah melahirkan beberapa ketentuan yang semakin memasung hak-hak kaum buruh. Seperti adanya tenaga kerja kontrak, sistem kerja outsourching, dan pengawasan penentuan upah minimun bagi kaum buruh. Dikatakan dalam UU No. 13 Tahun 2003 pasal 90 ayat 2 bahwa “Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagai mana di maksud pasal 89 dapat dilakukan penangguhan”. Namun di lapangan tidak sedikit jumlahnya perusahaan yang menangguhkan upah minimum sampai beberapa tahun dari waktu penangguhan yang telah diajukan, tidak mendapatkan teguran ataupun tindakan tegas dari pemerintah dalam hal ini Dinas Ketenagakerjaan di daerah-daerah. Pasal 89 UU No.13 tahun 2003 berisi tentang ketentuan upah minimum baik Provinsi ataupun Kota dan kabupaten.

Ketiga, kesejahteraan buruh yang belum cukup layak. Misalnya saja, setiap akhir tahun kaum buruh akan berunjuk rasa meminta kenaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kota (UMK) serta Upah Minimum Sektoral (UMSk). Tujuan utama penyesuaian dan penentuan upah minimum adalah agar tercapainya kebutuhan hidup layak. Dan rasanya hal ini tidak akan pernah bertemu, karena antara kepentingan kaum buruh yang ingin mendapatkan upah yang lebih besar berbeda dengan keinginan para pemilik modal yang menginginkan laba perusahaan sebesar-besarnya dengan menekan biaya operasional semaksimal mungkin. Sedangkan komponen atas biaya overhead perusahan yang masih bisa dikompromikan adalah masalah upah/gaji buruh. Sehingga pemilik modal yang tidak bertanggung jawab akan menekan upah buruh seminimal mungkin guna perolehan laba sebesar-besarnya. Tujuan dari aksi unjuk rasa menuntut upah minimum ini adalah untuk menekan pemerintah agar pengusaha bersedia memenuhi tuntutan para buruh.


Ke-empat, adanya Serikat Buruh yang membawa misi dan dibiayai NGO negara asing. Serikat Buruh ini biasanya dalam unjuk rasanya selalu ingin terjadi chaos (kerusuhan) dalam setiap aksinya. Karena serikat buruh ini membawa misi negara asing dengan tujuan utama menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif di negara Indonesia. Jika tujuan mereka tercapai maka akhirnya para investor enggan untuk menanamkan investasinya di Indonesia, lalu agar perusahaan dalam negeri lambat laun bangkrut dan pindah ke luar negeri. Pihak pemilik modal dan investor akan beralasan bahwa di Indonesia sudah tidak nyaman untuk berinvestasi lagi. Serikat buruh ini mendapatkan pendanaan dari luar negeri dengan menjual dokumentasi kegiatan mereka. Menurut teman-teman aktivis buruh, pihak Non Governmental Organization (NGO) di luar negeri sana berani membayar mahal setiap aksi buruh yang di dalamnya ada unsur melawan pemerintah, bentrokan dengan aparat keamanan dan yang menimbulkan kericuhan.

Kelima, kaum buruh senantiasa dieksploitasi secara politik. Baik itu oleh Parpol, LSM, bahkan oleh organisasi serikat buruh sendiri. Ambil contoh, perpecahan buruh terhadap sikap pro dan kontra atas diberlakukannya UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) antara kelompok Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) yang pro, dengan Front Nasional Tolak BPJS-SJSN yang kontra. Sangat jelas buruh digiring untuk masuk ranah politik. Ada tarik-menarik kepentingan di sana. Menurut beberapa teman di organisasi serikat buruh, apabila UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berhasil disahkan maka skemanya adalah Jamsostek, ASABRI dan TASPEN dan akan dilebur menjadi satu.  Ini berarti dana yang ada di Jamsostek sebesar Rp 125,4 Triliun, ASABRI sebesar Rp 5,8 Triliun dan TASPEN sebesar Rp 92 Triliun pun akan dilebur menjadi satu dalam satu manajemen BPJS.

Konon, menurut teman-teman di serikat buruh. Saat ini saja di PT. Jamsostek sendiri ada dana besar ‘tidak bertuan” sebanyak Rp 1,1 Triliun. Dana sebesar ini adalah uang milik jutaan buruh yang selama bekerja diperusahaan dibayarkan jamsosteknya, namun karena merasa repot dan kesulitan untuk mencairkannya maka para buruh ini membiarkan saja uang mereka mengendap di PT. Jamsostek. Namun pihak PT. Jamsostek sendiri karena terikat dengan undang-undang tidak bisa mengunakan uang “tidak bertuan” tadi dengan semaunya. 

Lama kelamaan akhirnya hal tersebut tercium juga oleh parpol, LSM berkepentingan dan beberapa petinggi di organisasi serikat buruh, sehingga terciptalah skema diberlakukannya UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan adanya BPJS tersebut maka dana “tidak bertuan” tadi bisa diputihkan kembali. Manjadi uang yang sah dan berstatus, dan efek lanjutannya akan ada kongkalikong antara parpol yang menggolkan BPJS dengan para pengurus BPJS baru. Bayangkan jika dana sebesar Rp 1,1 Triliun tersebut berhasil diambil oleh sebuah parpol, maka dana tersebut bisa dipakai untuk membiayai kampanye Pileg atau Pilpres 2014 mendatang, dengan porsi Rp 32 Milliar setiap provinsinya (saat ini provinsi di Indonesia sudah mencapai 34 provinsi). Rp 32 Milliar merupakan dana kampanye yang cukup lumayan besar untuk digunakan di wilayah setingkat provinsi. Sungguh benang kusut yang sulit untuk bisa diurai kembali.

Demikianlah, semoga artikel ini bisa menginspirasi dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian di mana pun Anda berada. Salam Sukses Salam Pembelajar.

*) Penulis adalah pengasuh blog di www.visionerpd.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

CIRI KHAS PRIBADI UNGGUL

MUTIARA DI DALAM LUMPUR