OTORITERIANISME POPULIS

OTORITERIANISME POPULIS

Oleh : Zamzam Miftahul Zanani*

Seekor anjing yang memohon keadilan kepada Tuhan karena dipukul dengan tongkat oleh seorang sufi, secara moral bisa bikin heboh. Reaksi spontan kita bisa bersifat populis, dan diam-diam memihak si anjing. Tapi, setelah Tuhan menyelidiki kasus ini, ternyata si anjing memiliki kesalahan ganda. Pertama, bahwa si anjing dipukul karena ia mengigit ujung jubah sang sufi dan merobeknya. Kedua, si anjing tidak mau dipukul karena sebagai seorang rohaniawan, sang sufi bersifat humanis mestinya tak usah marah sehingga memukul si anjing.

Ada tuntutan moral, bahwa sufi tidak boleh marah. Maka, si anjing pun “menjual” gagasan populisnya kepada Tuhan, memohon keadilan karena dia tidak berdaya. Kutipan kisah ini bukan hanya untuk memperkaya moralitas kita, melainkan juga untuk mempertajam analisis ilmiah kita terhadap gejala hidup. Bagi saya ini merupakan cerminan teori “blaming the victim”  (menyalahkan sang korban), yang sering tampil dalam bentuk pemutarbalikan fakta. Si penindas melapor sebagai sitertindas. Di sini, sikap maling teriak maling.

         

Inilah wujud “Otoriterianisme Populis” sebuah watak keji, dan culas, yang lebih berbahaya dari gigitan anjing gila itu sendiri. Semangat populis, yaitu pembelaan terhadap kepentingan pihak yang teraniaya, dan tak berdaya, terutama mayoritas yang tertindas dan diam, sudah jelas sangat penting bagi kita.

         

Saya bersedia membela perjuangan di bidang itu. Tapi bila semangat dan jiwa, atau watak populis itu diwarnai sikap otoriter, tentu saja tidak menarik. Ia merupakan bibit perilaku sosial politik yang langsung menusuk ulu hati demokratisasi. Dan mungkin bisa mematikannya, karena terhadap kata itu orang sudah bersifat skeptis sejak konsep itu masih dalam kandungan (ibarat). Apalagi bila ia tampil dalam  bungkusan populisme yang terang-terangan palsu, yang mengkhianati proses demokrasi.

Dilihat secara normatif, kita bisa merasakan rumitnya dilema moral seorang sufi yang memukul anjing. Tapi dari segi analisis sosial, diperkuat dengan penjelasan mengenai watak culas dan kepalsuan si anjing yang sok populis tadi, apa boleh bagi saya membela sang sufi?

Bagi saya, dialah, dan bukan si anjing yang tertindas dan teraniaya. Si anjing mungkin simbol orang yang dengki pada sang sufi yang sengaja memfitnah, dan mengoyak-ngoyak jubah kejujuran dan ketulusan sufi tersebut. Jubah dalam kisah ini bukan Cuma sepotong kain lusuh melainkan kehormatan yang merupakan nilai sentral dalam sang sufi. Ia sengaja tak enggan mengambil resiko dikecam komunitas kaum rohaniawan, atau publik yang lebih luas lagi. Sebab ia merasa sedang berbicara perkara kebenaran yang tak buta, dan tak pernah tidur. Kebenaran selalu melambai-lambai minta diperjuangkan dengan gigih, dengan segenap resiko.

         

Otoriterianisme populis bungkusnya tampak seperti pemihakan pada teori atau ideologi populis, membela kepentingan kelompok tertindas tapi didalamnya ada kepalsuan dan manipulasi. Disana kepentingan pribadi memanipulasi gagasan populis untuk meraih pemihakkan emosional. Ia bisa menyusup di organisasi atau kelompok-kelompok yang lebih mengedepankan amarah  dan kekecewaan akibat ketimpangan sosial di masyarakat.

Sebagai watak, gagasan otoriterianisme populis sudah menggejala sejak lama. Kita tahu, bila sebuah mobil mewah menyenggol sepeda motor atau becak dan sebagainya, apalagi mobil mewah itu pemiliknya seorang keturunan beretnis China. Maka hancurlah pemilik mobil itu meskipun bukan dia yang salah. Ini hukum liar kita yang saat ini berlaku di masyarakat kita pada umumnya.

Di zaman reformasi ini, sikap otoriter berkembang di masyarakat kita. Apa yang dianggap kepentingan orang banyak, masyarakat, publik, serikat, himpunan, atau asosiasi. Selalu disetengahsucikan, dan dianggap tak mungkin salah. Kita diam-diam mengklaim kebenaran mutlak di tangan kita. Sikap ini lahir setelah reformasi berkembang dalam masyarakat. Ini gejala penting yang menjelaskan bahwa pada sebagian dari kita, sebagai bangsa masih tetap mengidap secara akut gejala psiko-patologi yang tampil dalam bentuk mentalitas orang terjajah. Kita dijangkiti penyakit ketidakmampuan  membebaskan diri dari keterjajahan kultural maupun politik di masa lalu.

Kita tidak mampu mengembangkan diri menjadi manusia merdeka, dan bebas dari dengki dan dendam. Tampaknya memang sulit mengembangkan sikap damai sekarang, bahkan sekedar damai dengan diri sendiri sekali pun. Sekarang muncul dimana-mana aneka macam organisasi yang menempatkan hak-hak, pemberdayaan, perwakilan rakyat dan komunitas sikap membela gagasan populis lainnya pada inti perjuangan mereka. Maka kita harus membuat pemetaan (mapping) untuk mengidentifikasi mana yang sehat secara sosial politik, mana yang tidak, mana yang murni dan mana yang sekedar menjadi kendaraan politik penggeraknya. Didaerah-daerah, kita tahu. Sekarang orang mengeluh terhadap sikap otoriter yang mengenakan jubah populis tadi. Otoriterianisme populis ibarat anjing gila yang berkeliaran dan sudah banyak mencelakakan banyak pihak. Saya pun sudah merasakan gigitan yang sungguh berbisa. Maka, bila harus memilih jelas saya memilih menjadi sufi yang memukul daripada menjadi anjing yang memfitnah dan memperkarakan sang sufi pada Tuhan.

“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang

batil lalu yang hak itu menghancurkannya maka dengan

serta merta yang batil itu lenyap.”

( Surah al-Anbiya: 18 )

“Mereka menjalankan tipu daya dan Allah mengagalkan 
tipu daya (mereka), kerana Allah sebaik-baik yang mengagalkan tipu daya.”

( Surah al-Anfal: 30 )

“Dan mereka telah merancangkan rancangan jahat, dan Kami pula 
rancangkan balasannya dengan seburuk-buruk balasan, sedang mereka 
tidak menyedarinya. Maka lihatlah bagaimana akibat rancangan jahat 
mereka. Yaitu Kami telah hancurkan mereka dan kaum mereka semuanya.”

( Surah an-Naml: 50-51 )

*) Penulis adalah Kontributor untuk www.visionerpd.blogspot.com